Sang Pemimpin

Sabtu, 12 November 2011

Novel Hidup Berawal Dari Mimpi : Sang Juara..

Lelaki itu kembali memikul dagangannya; dua keranjang besar yang dipenuhi bersisir-sisir pisang. Bayang-bayang pohon sudah lebih panjang dari dirinya sendiri-jam dinding di sebuah toko yang baru saja dia lewati mengabarkan bahwa waktu beranjak senja. 14.28, tujuh jam lebih sejak kali pertama lelaki paruh baya itu menginjakkan kaki di seberang pintu rumahnya pagi tadi. Sesiang ini, tak sesisir pun pisang terjual. Dia menyusuri jalan-jalan, memasuki liang-liang gang yang sempit dan dipadati rumah-rumah penduduk sambil terus berteriak menjajakan dagangannya, “Pisaaaang... Pisaaang... Pisaaang...”

Tak seorang pun menyahut. Tak seorangpun memanggil untuk berhenti. Di gang sempit, orang-orang hanya memandang lelaki itu sekilas-seperti berkata pada diri mereka sendiri, “Oh, ada tukang pisang lewat”-lalu kembali sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Seorang ibu muda sedang menyuapi anak perempuannya, pemuda gondrong sibuk mencuci motor barunya, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa. Sementara lelaki itu, sang penjual pisang, terus berjalan menjemput rejeki yang entah bersembunyi di mana. “Pisaaaang... Pisaaang... Pisaaang...,” dan masih saja tak seorang pun memanggilnya untuk berhenti-sekadar tertarik pada pisang dagangannya.

Sementara detik-detik terus berguguran di sepanjang langkahnya yang berat, lelaki paruh baya penjual pisang mulai merasakan lapar yang melilit di perutnya. Ia berhenti sejenak di persimpangan jalan, tepat menghadap masjid yang sedang mengumandangkan azan. Kemudian, lelaki penjual pisang menarik nafas panjang, mengusap keringat-lantas meneruskan langkah ke muka masjid. Ashar telah tiba dan dia berniat mengistirahatkan tungkai kakinya yang lelah sambil menunaikan Ashar bagi Tuhannya.

Usai shalat, sang penjual pisang duduk di pelataran masjid menghadap keranjang dagangannya. Lapar masih melilit perutnya.

“Berapa pisangnya?” Suara berat seseorang memecahkan kristal lamunannya. Lelaki tambun dengan kantung plastik hitam di tangan kanannya.

“Eh, yang itu tujuh ribu, Pak.”

“Lima ribu, ya?”

Lelaki penjual pisang berpikir sejenak, “Kalau enam ribu tidak apa-apa, Pak. Ambil saja. Kalau lima ribu belum bisa.” Dia tersenyum ramah.

“Ya sudah, saya beli dua sisir yang ini.” Lelaki tambun menunjuk pisang pilihannya.

Dengan cekatan, lelaki penjual pisang memasukkan dua sisir pisang ke dalam kantung plastik hitam. “Ini, Pak.” Katanya setelah selesai.

“Ini uangnya, kembaliannya ambil saja,” kata lelaki tambun itu.

Penjual pisang berdebar. Sedetik napasnya tertahan. “Wah, terima kasih banyak, Pak. Semoga rezeki Bapak selalu lancar dan dimudahkan...”

“Amin,” jawab lelaki tambun itu, pendek, sambil tersenyum. Lalu pergi.

Penjual pisang mengipas-kipaskan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah dan lima ribu rupiah di atas pisang dagangannya. Dia berharap uang itu bisa menular, semacam mantra, sihir pedagang yang bisa mengubah pisang jadi uang. Barangkali.

Lelaki itu segera beranjak dari tempat duduknya. Meneguhkan kembali keyakinan bahwa Tuhan tak mungkin membuat nya menderita hingga ia tak bisa menahannya. Dia kembangkan lagi dadanya, dia tegakkan langkahnya, lalu kembali menghitung langkah menemui rezeki yang dia yakini sedang menunggunya di berbagai sudut bumi. Meski lapar masih melilit perutnya, penjual pisang terus berjalan... “Pisaaaang... Pisaaaang... Pisaaaang...”

Tak pernah ada nestapa yang tak berkesudahan, Kalky. Hidup selalu punya caranya sendiri untuk melobangi kebuntuan.

Lelaki paruh baya penjual pisang tiba di sebuah sudut perkampungan. Di sana beberapa pedagang sedang berkumpul; penjual mie ayam, gulali, dan mainan anak-anak. Dia segera bergabung. Seperti bertemu saudara sendiri, mereka menyambut lelaki penjual pisang dengan penuh kehangatan dan keramahan.

“Sudah laku berapa, toh?” tanya pedagang mie ayam berlogat Jawa.

“Yah, sekarang memang susah, kalau dagang buah-buahan begini.” Kata lelaki penjual pisang diakhiri tawa.

“Sama,” kata penjual gulali, “Sekarang anak-anak dilarang jajan gulali sama orangtuanya. Jualan ginian jadi susah.”

Mereka semua tertawa. Seolah beban yang mereka pikul berlepasan satu per satu. Penjual mainan anak-anak mulai merapikan dagangannya.

“Sudah makan, belum?” kata penjual mie ayam pada lelaki penjual pisang.

“Belum,” jawab lelaki penjual pisang, singkat.

“Barter karo pisang sesisir, yo? Tak kasih semangkuk jumbo mie ayam spesial! Gelem ora?”

“Boleh, boleh...” kata lelaki penjual pisang antusias.

“Sip!” Penjual mie ayam tersenyum mengacungkan jempolnya, mengangkat kedua alisnya.

Lalu, penjual mie ayam mulai meracik semangkuk mie ayam spesial yang dijanjikannya. Aromanya mulai membebaskan lapar yang melilit di perut lelaki penjual pisang. Dia tersenyum. Air liur mulai membasahi rongga mulutnya.

Kalky, hidup selalu indah pada waktunya. Dan tuhan tak pernah tertidur untuk melupakan mereka yang percaya pada takdirnya.

07.39, selepas Isya, lelaki penjual pisang sudah sampai di rumah kontrakan kecilnya. Anak-anak dan istrinya sudah menunggu untuk makan malam seadanya; pepes tahu dan kerupuk bawang.

“Hore, Bapak pulang!” teriak anak lelakinya, yang paling besar. Dia berlari menyambut bapaknya, adiknya yang perempuan membuntuti dari belakang. Kedua anak itu memeluk kaki bapaknya. Lelaki penjual pisang mengusap-usap rambut mereka, mencium keningnya satu per satu, “Ayo, kita makan!” katanya kemudian.

Istri mencium tangannya. Lelaki penjual pisang tersenyum tulus ke arahnya. “Makan apa kita hari ini, Bu ?”

‘’Pepes tahu dan kerupuk bawang.” Kata istrinya ramah.

“Alhamdulillah...” kata lelaki penjual pisang.

“Ini uang untuk belanja besok, dan untuk jajan anak-anak.” Lelaki penjual pisang menyodorkan dua lembar lima ribuan dan selembar sepuluh ribuan.

“Laku banyak hari ini, Pak ?” Istrinya menyodorkan segelas air putih.

“Enam sisir...,” katanya, kemudian ia meneguk segelas air putih di hadapannya, “Satu sisir ditukar mie ayam, satu sisir lagi ditukar mainan ini!” Sambungnya sambil mengeluarkan robot-robotan kecil dan boneka kertas dari dalam tas pinggangnya.

Melihat oleh-oleh yang dibawa bapaknya, anak-anak senang bukan kepalang! “Asyiiik!” Teriak si sulung, melompat gembira.

Sementara itu, anak perempuannya tersipu, tak lama kemudian ia menghampiri bapaknya lalu mencium pipi lelaki penjual pisang itu, “Makasih, Bapak.” Bisiknya.

Istrinya tersenyum. Ia merasakan kebahagiaan luar biasa berbunga di hatinya. “Ayo kita makan.” Katanya lembut.

***

Malam itu, lelaki penjual pisang yang malang, yang berjalan puluhan kilo dengan keringat mengucur dari keningnya, menjajakan pisang dari gang ke gang, menjadi juara di rumahnya sendiri.

Di luar rumah, suara jangkrik bersahutan. Deru knalpot bocor. Pijar lampu 10 watt. Suara tawa terdengar berderai dari dalam rumah kontrakan mungil lelaki penjual pisang.

Lihatlah, Kalky, kebahagiaan adalah soal bagaimana kita menjadi juara bagi diri kita sendiri. Maka, jadilah juara bagi dirimu sendiri. Yakinlah, teruslah melangkah, jangan biarkan dirimu dikalahkan rasa takut dan ragu. Sebab, setiap orang adalah juara bagi dirinya sendiri.

***

Di sebuah sofa di rumah mewah, dua lelaki sedang duduk berdampingan. Seorang ayah dan anak laki-lakinya. Beberapa jarak dari sofa itu, puluhan trofi penghargaan menghiasi sebuah lemari jati. Tepat di hadapan ‘lemari prestasi’ itu, puluhan foto dipasang hampir memenuhi tembok; foto-foto yang penuh sejarah kemenangan dan diambil dengan berbagai latar belakang kota dunia; Tokyo, New York, Moscow, Dubai, Canberra.

“Di mata sebagian orang, ayahmu ini barangkali dianggap juara sejati, Kalky. Berbagai penghargaan pernah ayah dapatkan, dari level desa hingga dunia. Dan kau? Apakah harus seperti ayah? Tidak, Kalky. Kau bisa menjadi dirimu sendiri. Kau bisa bersinar dengan cahayamu sendiri.”

Anak laki-laki itu mengangguk pasti. Ada cahaya yang mulai berpijar di dadanya.

“Jadi, jangan khawatir jika kau tak seperti Ayah. Jadilah dirimu sendiri. Setiap orang bisa menjadi juara bagi dirinya sendiri, Kalky. Kau tahu mengapa sejak tadi aku ceritakan kisah lelaki penjual pisang?”
Anak laki-laki itu menggeleng pelan.

Beberapa saat mereka terdiam. Sampai ayahnya menunjuk ke arah sebuah foto yang terpajang di salah satu dinding ruangan; foto seorang lelaki tua berpenampilan sederhana, “Lelaki itu, Kalky,” kata sang ayah dengan suara tercekat, “Dialah penjual pisang itu. Kakekmu. Dialah juara bagi hidupnya sendiri, dan juara sejati dalam kehidupanku. Tak tertolak!”

Beberapa saat anak laki-laki itu memandangi gambar kakeknya dalam foto; Dia teringat kisah tentang langkah-langkah kakeknya menyusuri jalan demi jalan, gang demi gang, menjual pisang. Dia melihat ayahnya. Dia melihat sekeliling nya. Dia melihat dirinya sendiri. Lelaki itulah, kata anak itu dalam hati, penjual pisang itu, dengan seluruh kesederhanaan nya, dialah sang juara yang sesungguhnya! Kakekku!

Sumber : Novel Hidup Berawal Dari Mimpi – Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black

Tidak ada komentar:

Posting Komentar